Secara geografis, posisi Desa Dadap Kecamatan Kosambi memang cukup strategis. Desa dengan luas areal 596,2 Hektar ini letaknya berada diwilayah kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Pertumbuhan penduduk di Desa Dadap pun melaju tajam seiring dengan gencarnya proses pembangunan yang dititik beratkan pada sektor Properti, Pergudangan, dan Komersil. Data terakhir menyebutkan 60% wilayah Dadap yang menjadi kawasan hunian telah disesaki oleh 11.513 jiwa penduduk yang Majemuk, Heterogen, Pluralistis dan Multi Dimensional.
Semenjak dibangunnya Bandara Soekarno – Hatta di era 80-an, Desa Dadap memang ikut berubah wajah. Maklum saja, disamping letaknya yang strategis sebagai pintu gerbang Propinsi Banten dari Jalur Utara, dahulu desa kami juga menjadi tempat penampungan pasir laut yang dipergunakan untuk membangun Bandara. Pasca beroperasinya Bandara Soekarno-Hatta, Dadap kian menjadi incaran para investor.
Sejak itu, Jengkal demi jengkal tanah kami mulai berubah bentuk. Kami tidak dapat lagi berlarian dipematang sawah karena ratusan Hektar lahan persawahan kami telah disulap menjadi rimbunnya hutan beton untuk pergudangan. Sungai Dadap yang dahulu jadi satu-satunya tempat kami bermain dan bercanda ria selepas pulang sekolah, kini terkesan amat menjijikkan karena airnya yang sudah dicemari beragam limbah industri dari Kawasan Pergudangan yang belakangan ternyata telah banyak berubah fungsi menjadi tempat industri.
Tidak sampai disitu, ambisi Kaum Kapitalis terhadap desa Dadap ternyata kian membabi buta, setelah melalap habis hamparan lahan persawahan, para predator kapitalisme kecil ini semakin menggila untuk menghancurkan sumber-sumber kehidupan warga dengan mulai melirik areal Pesisir Pantai dan melakukan kegiatan reklamasi. Terlebih ketika dipenghujung 90-an, Pemerintah di era Presiden Suharto menelurkan gagasan prestisius yang berencana menyulap wilayah pesisir Pantura Jakarta dan Tangerang menjadi sebuah Kawasan Wisata Terpadu yang konon dikabarkan akan menjadi kawasan wisata bahari terbesar di Asia Tenggara.
Pada mulanya warga memang menyambut baik kehadiran para pemodal yang konon katanya datang untuk membangun dan merubah taraf hidup masyarakat. Kala itu warga berharap, kehadiran mereka dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Dadap. Warga sadar betul bahwa harus ada yang dikorbankan dalam sebuah proses pembangunan. Itu sebabnya warga tidak ragu merelakan hijaunya hamparan sawah kami disulap menjadi ribuan gudang, dengan harapan semoga kelak anak-anak kami tidak lagi kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan.
Namun kenyataan berkata lain, Dadap yang telah habis-habisan diekploitasi ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Tingginya angka pengangguran, Rusaknya lingkungan, serta diabaikannya sendi-sendi kehidupan masyarakat merupakan sebuah bukti bahwa ternyata nikmatnya hasil pembangunan ini tidak mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat Dadap.
Semenjak dibangunnya Bandara Soekarno – Hatta di era 80-an, Desa Dadap memang ikut berubah wajah. Maklum saja, disamping letaknya yang strategis sebagai pintu gerbang Propinsi Banten dari Jalur Utara, dahulu desa kami juga menjadi tempat penampungan pasir laut yang dipergunakan untuk membangun Bandara. Pasca beroperasinya Bandara Soekarno-Hatta, Dadap kian menjadi incaran para investor.
Sejak itu, Jengkal demi jengkal tanah kami mulai berubah bentuk. Kami tidak dapat lagi berlarian dipematang sawah karena ratusan Hektar lahan persawahan kami telah disulap menjadi rimbunnya hutan beton untuk pergudangan. Sungai Dadap yang dahulu jadi satu-satunya tempat kami bermain dan bercanda ria selepas pulang sekolah, kini terkesan amat menjijikkan karena airnya yang sudah dicemari beragam limbah industri dari Kawasan Pergudangan yang belakangan ternyata telah banyak berubah fungsi menjadi tempat industri.
Tidak sampai disitu, ambisi Kaum Kapitalis terhadap desa Dadap ternyata kian membabi buta, setelah melalap habis hamparan lahan persawahan, para predator kapitalisme kecil ini semakin menggila untuk menghancurkan sumber-sumber kehidupan warga dengan mulai melirik areal Pesisir Pantai dan melakukan kegiatan reklamasi. Terlebih ketika dipenghujung 90-an, Pemerintah di era Presiden Suharto menelurkan gagasan prestisius yang berencana menyulap wilayah pesisir Pantura Jakarta dan Tangerang menjadi sebuah Kawasan Wisata Terpadu yang konon dikabarkan akan menjadi kawasan wisata bahari terbesar di Asia Tenggara.
Pada mulanya warga memang menyambut baik kehadiran para pemodal yang konon katanya datang untuk membangun dan merubah taraf hidup masyarakat. Kala itu warga berharap, kehadiran mereka dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Dadap. Warga sadar betul bahwa harus ada yang dikorbankan dalam sebuah proses pembangunan. Itu sebabnya warga tidak ragu merelakan hijaunya hamparan sawah kami disulap menjadi ribuan gudang, dengan harapan semoga kelak anak-anak kami tidak lagi kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan.
Namun kenyataan berkata lain, Dadap yang telah habis-habisan diekploitasi ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Tingginya angka pengangguran, Rusaknya lingkungan, serta diabaikannya sendi-sendi kehidupan masyarakat merupakan sebuah bukti bahwa ternyata nikmatnya hasil pembangunan ini tidak mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat Dadap.