Beberapa Surat Laporan yang dilayangkan FORMAT kepada Pihak berwenang ditingkat Daerah tidak mendapat respon positif. Tercatat pada tanggal 20 Desember 2004 dan tanggal 10 Januari 2005 kami melayangkan Surat Laporan Kerusakan Lingkungan kepada DPRD dan Bupati Tangerang yang ditembuskan ke beberapa Instansi terkait lainnya. Namun, baik DPRD maupun Pemda seakan tutup mata terhadap persoalan ini. Bahkan Surat Permintaan Hearing pun pernah dikirim pada tanggal 2 Februari 2005 dan 28 Maret 2005, lagi-lagi kami selalu dijanjikan bahwa jadwal Hearing sedang diatur. Setelah melalui desakan, barulah tanggal 2 Mei 2005 kami mendapat kesempatan untuk hearing dengan DPRD. Satu hal menarik hearing tersebut. Ironisnya, disamping DPRD menunjukkan sikap seolah tidak tahu terhadap persoalan ini, ternyata Lembaga Legislatif ini juga sama sekali belum melihat dan meneliti dokumen AMDAL.
Ketidak pedulian Instansi ditingkat daerah ini mengisyaratkan adanya semacam Konspirasi dibalik kegiatan Reklamasi Pantai Dadap. Pasalnya, disamping warga tidak pernah dilibatkan dalam proses Pra-perijinan, beberapa Pengembang juga sudah berani mereklamasi pantai padahal mereka belum mengantongi AMDAL, sementara aparat pemerintah dari tingkat Desa sampai Kabupaten terkesan Tutup Mata saja.
Bahkan sikap ketidak seriusan DPRD Kab. Tangerang dalam menanggapi keluhan masyarakat mengisyaratkan bahwa Lembaga yang satu ini juga seakan telah Terkontaminasi oleh kepentingan Oknum Pemerintah dan Pengusaha. Hal lain yang cukup mencengangkan adalah keluarnya SK Bupati Tangerang Nomor 6601/kep.35/huk/04 Tanggal 30 Desember 2004 tentang: Pengesahan Dokumen AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan Rencana Pemantauan Lingkungan Reklamasi Pantai untuk pembangunan proyek Pariwisata Pantai Pasir Putih Dadap.
Dalam PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, pada Pasal 12 disebutkan bahwa: “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi diwilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara”. Dalam konteks ini jelas bahwa tanah hasil reklamasi otomatis menjadi milik Negara. Selama belum ada tanah timbul akibat reklamasi, maka hak atas tanah tersebut belum bisa dikeluarkan. Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh Pemerintah. Memberikan hak atas tanah dalam reklamasi Pantai Dadap sebelum reklamasi selesai serta pemberian izin untuk membuka kawasan wisata yang melanggar RUTRW jelas mengindikasikan adanya sebuah Permainan.
Tanggal 21 Februari 2005 kami bersama puluhan warga mendatangi Gedung MPR/DPR saat Komisi VII DPR-RI melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Bupati Tangerang terkait masalah Reklamasi Pantai Dadap. Dalam RDP tersebut, Komisi VII mengeluarkan beberapa Keputusan diantaranya mendesak Pemda Kab. Tangerang untuk menghentikan seluruh kegiatan reklamasi di Pantura karena dampak yang ditimbulkan dianggap sangat luas, serius dan penting. Komisi VII berpendapat bahwa pemberian ijin pembebasan lahan telah melanggar UU No. 23 Tahun 1997 junto Pasal 7 Ayat 1 PP No. 27 tahun 1999, sehingga Kementerian Lingkungan Hidup diminta untuk meninjau kembali keabsahan dokumen AMDAL-nya. disamping itu Komisi VII juga akan segera membentuk Panja yang akan melakukan peninjauan kelapangan. Rekomendasi ini semakin menguatkan dugaan adanya KETIDAK BERESAN dibalik kegiatan Reklamasi Pantai Dadap.
Tanggal 15 Maret 2005 kami diterima oleh Komisi VII DPR-RI untuk melakukan Hearing. Dalam acara tersebut kami membawa 50 orang Tokoh Nelayan yang mewakili 4000 orang Nelayan Dadap yang kemudian menyampaikan keluhan mereka seputar imbas dari kegiatan reklamasi. Dihadapan anggota Dewan, para nelayan mengutarakan keluhannya seputar pendangkalan muara sungai, kebanjiran akibat air pasang yang terjadi setiap bulan serta menurunnya pendapatan mereka karena sulitnya mendapatkan ikan diseputar perairan Pantai Dadap akhir-akhir ini.
Upaya Musyawarah ditingkat Desa sebenarnya telah lakukan beberapa kali, namun Kepala Desa dinilai belum mampu memenuhi seluruh aspirasi masyarakat. Dalam musyawarah Tanggal 17 Februari 2005, 2 Maret 2005 dan 16 Maret 2005 antara warga dan Pemerintah Desa, Tidak dihasilkan kesepakatan berarti. Setelah melalui desakan keras dan perundingan alot, barulah pada tanggal 31 Maret 2005 Pengembang bersedia melakukan Pengerukan Muara Dadap yang Dangkal, namun Pengerukan ini dinilai tidak efektif dan terkesan setengah-setengah. Pasalnya, Lumpur yang dikeruk tidak dibuang akan tetapi hanya dipinggirkan saja ketepi sungai. Apabila terkena hujan dan terpaan ombak, maka Lumpur tersebut pasti akan kembali mengendap ke alur sungai. Sementara kedalaman pengerukan yang hanya 3 meter juga dianggap tidak sesuai dengan keinginan warga karena muara Dadap sebelum adanya kegiatan reklamasi kedalamannya mencapai 10 meter lebih.
Surat Teguran Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. B-5554/Dep/IV-5/LH/10/2004 tanggal 18 Oktober 2004 serta Rekomendasi Komisi VII DPR-RI tanggal 21 Februari 2005 yang meminta Kegiatan Reklamasi Pantai Dadap dihentikan ternyata tidak diindahkan. Hingga saat ini kegiatan Koperasi Pasir Putih masih tetap berjalan meski terkesan sembunyi-sembunyi. Saat siang hari, lokasi Proyek memang terlihat sepi namun selepas jam 22.00 WIB hingga dini hari, beberapa Truk masih terlihat mengangkut tanah menuju lokasi proyek, sementara sebuah alat berat (Beco) juga langsung meratakan tanah-tanah yang dimuntahkan disekitar areal proyek tersebut.
Ketidak pedulian Instansi ditingkat daerah ini mengisyaratkan adanya semacam Konspirasi dibalik kegiatan Reklamasi Pantai Dadap. Pasalnya, disamping warga tidak pernah dilibatkan dalam proses Pra-perijinan, beberapa Pengembang juga sudah berani mereklamasi pantai padahal mereka belum mengantongi AMDAL, sementara aparat pemerintah dari tingkat Desa sampai Kabupaten terkesan Tutup Mata saja.
Bahkan sikap ketidak seriusan DPRD Kab. Tangerang dalam menanggapi keluhan masyarakat mengisyaratkan bahwa Lembaga yang satu ini juga seakan telah Terkontaminasi oleh kepentingan Oknum Pemerintah dan Pengusaha. Hal lain yang cukup mencengangkan adalah keluarnya SK Bupati Tangerang Nomor 6601/kep.35/huk/04 Tanggal 30 Desember 2004 tentang: Pengesahan Dokumen AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan Rencana Pemantauan Lingkungan Reklamasi Pantai untuk pembangunan proyek Pariwisata Pantai Pasir Putih Dadap.
Dalam PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, pada Pasal 12 disebutkan bahwa: “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi diwilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara”. Dalam konteks ini jelas bahwa tanah hasil reklamasi otomatis menjadi milik Negara. Selama belum ada tanah timbul akibat reklamasi, maka hak atas tanah tersebut belum bisa dikeluarkan. Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh Pemerintah. Memberikan hak atas tanah dalam reklamasi Pantai Dadap sebelum reklamasi selesai serta pemberian izin untuk membuka kawasan wisata yang melanggar RUTRW jelas mengindikasikan adanya sebuah Permainan.
Tanggal 21 Februari 2005 kami bersama puluhan warga mendatangi Gedung MPR/DPR saat Komisi VII DPR-RI melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Bupati Tangerang terkait masalah Reklamasi Pantai Dadap. Dalam RDP tersebut, Komisi VII mengeluarkan beberapa Keputusan diantaranya mendesak Pemda Kab. Tangerang untuk menghentikan seluruh kegiatan reklamasi di Pantura karena dampak yang ditimbulkan dianggap sangat luas, serius dan penting. Komisi VII berpendapat bahwa pemberian ijin pembebasan lahan telah melanggar UU No. 23 Tahun 1997 junto Pasal 7 Ayat 1 PP No. 27 tahun 1999, sehingga Kementerian Lingkungan Hidup diminta untuk meninjau kembali keabsahan dokumen AMDAL-nya. disamping itu Komisi VII juga akan segera membentuk Panja yang akan melakukan peninjauan kelapangan. Rekomendasi ini semakin menguatkan dugaan adanya KETIDAK BERESAN dibalik kegiatan Reklamasi Pantai Dadap.
Tanggal 15 Maret 2005 kami diterima oleh Komisi VII DPR-RI untuk melakukan Hearing. Dalam acara tersebut kami membawa 50 orang Tokoh Nelayan yang mewakili 4000 orang Nelayan Dadap yang kemudian menyampaikan keluhan mereka seputar imbas dari kegiatan reklamasi. Dihadapan anggota Dewan, para nelayan mengutarakan keluhannya seputar pendangkalan muara sungai, kebanjiran akibat air pasang yang terjadi setiap bulan serta menurunnya pendapatan mereka karena sulitnya mendapatkan ikan diseputar perairan Pantai Dadap akhir-akhir ini.
Upaya Musyawarah ditingkat Desa sebenarnya telah lakukan beberapa kali, namun Kepala Desa dinilai belum mampu memenuhi seluruh aspirasi masyarakat. Dalam musyawarah Tanggal 17 Februari 2005, 2 Maret 2005 dan 16 Maret 2005 antara warga dan Pemerintah Desa, Tidak dihasilkan kesepakatan berarti. Setelah melalui desakan keras dan perundingan alot, barulah pada tanggal 31 Maret 2005 Pengembang bersedia melakukan Pengerukan Muara Dadap yang Dangkal, namun Pengerukan ini dinilai tidak efektif dan terkesan setengah-setengah. Pasalnya, Lumpur yang dikeruk tidak dibuang akan tetapi hanya dipinggirkan saja ketepi sungai. Apabila terkena hujan dan terpaan ombak, maka Lumpur tersebut pasti akan kembali mengendap ke alur sungai. Sementara kedalaman pengerukan yang hanya 3 meter juga dianggap tidak sesuai dengan keinginan warga karena muara Dadap sebelum adanya kegiatan reklamasi kedalamannya mencapai 10 meter lebih.
Surat Teguran Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. B-5554/Dep/IV-5/LH/10/2004 tanggal 18 Oktober 2004 serta Rekomendasi Komisi VII DPR-RI tanggal 21 Februari 2005 yang meminta Kegiatan Reklamasi Pantai Dadap dihentikan ternyata tidak diindahkan. Hingga saat ini kegiatan Koperasi Pasir Putih masih tetap berjalan meski terkesan sembunyi-sembunyi. Saat siang hari, lokasi Proyek memang terlihat sepi namun selepas jam 22.00 WIB hingga dini hari, beberapa Truk masih terlihat mengangkut tanah menuju lokasi proyek, sementara sebuah alat berat (Beco) juga langsung meratakan tanah-tanah yang dimuntahkan disekitar areal proyek tersebut.